...

BID’AH DAN KLASIFIKASINYA

Leave a Comment
Imam An Nawawi dalam kitab Tahdzîb Al Asmâ’ Wa Al Lughat mengatakan:
اَلْبِدْعَةُ فِي الشَّرْعِ هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى حَسَنَةٍ وَقَبِيْحَةٍ.
“Bid’ah dalam agama adalah memper-baharui sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah ﷺ. Bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu  bid’ah  hasanah  (baik)
dan qabîhah (jelek)”. 

Syaikh Izzuddin bin Abdissalam menerangkan dalam kitab Qawâ’id Al Ahkâm Fî Mashâlih Al Anâm:
الْبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌ إِلٰى وَاجِبَةٍ وَمُحَرَّمَةٍ وَمَنْدُوْبَةٍ وَمَكْرُوْهَةٍ وَمُبَاحَةٍ. قَالَ وَالطَّرِيْقُ فِيْ ذٰلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلٰى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ فَإِذَا دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، أَوْ فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، أَوِ النَّدْبِ فَمَنْدُوْبَةٌ، أَوِ الْمَكْرُوْهِ فَمَكْرُوْهَةٌ، أَوِ الْمُبَاحِ فَمُبَاحَةٌ.
“Bid’ah terbagi menjadi 5, yakni wajib, haram, sunah, makruh dan mubah. Metode untuk mengetahuinya adalah dengan membandingkan bid’ah dengan kaidah dalam agama. Jika bid’ah masuk dalam kaidah wajib maka bid’ah tersebut hukumnya wajib. Jika masuk dalam kaidah haram maka hukumnya haram. Jika masuk dalam kaidah sunah maka hukumnya sunah. Jika masuk dalam kaidah makruh maka hukumnya makruh. Jika masuk dalam kaidah mubah maka hukumnya mubah”. 

Syaikh Izzuddin kemudian menjelas-kan contoh-contoh dari masing-masing bagian tersebut. Diantaranya beliau berkata:
“Contoh bid’ah yang sunnah adalah seperti membangun pesantren, tempat pendidikan, setiap kebaikan yang tidak dikenal di generasi awal. Juga seperti tarawih, bicara mendalam tentang tasawwuf, dan berdebat. Contoh yang lain adalah perkumpulan perayaan dengan mengambil dalil dari beberapa masalah, jika bertujuan mendekatkan diri kepada Allah”.
Al Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i dalam kitab Manâqib Asy Syafi’i, bahwa beliau pernah berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ الْأُمُوْرِ ضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا مَا أُحْدِثَ مِمَّا يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا، فَهٰذِهِ الْبِدْعَةُ الضَّلاَلَةُ، وَالثَّانِي مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لَا خِلَافَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هٰذَا، وَهٰذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. وَقَدْ قَالَ عُمَرُ  فِيْ قِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ {نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هٰذِهِ} يَعْنِيْ اَنَّهَا مُحْدَثَةٌ لَمْ تَكُنْ، وَإِذَا كَانَتْ  فَلَيْسَ فِيْهَا رَدٌّ لِمَا مَضٰى.  هٰذَا
آخِرُ كَلَامِ الشَّافِعِيِّ.
“Sesuatu yang diperbaharui ada dua macam. Pertama, sesuatu yang baru dan bertentengan dengan Al Quran, Hadits, atsâr, atau ijmâ’ (konsensus ulama). Bagian ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua, sesuatu yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil agama, maka hal ini tidak tercela”. Oleh karena itu sahabat Umar ra berkata dalam ibadah malam di bulan Ramadlan: “Ibadah ini (tarâwîh berjamaah) adalah bid’ah yang terbaik”. Yang dimaksud bid’ah adalah sesuatu yang baru dan belum pernah ada sebelumnya. Kalaupun dikatakan bid’ah (secara bahasa) tapi di dalamnya tidak ada penolakan (maka bukanlah bid’ah yang tercela). Ini adalah akhir ucapan As Syafi’i”.

Dengan demikian bisa diketahui ketidakbenaran perkataan Al Fakihani yang berbunyi:
“Juga tidak bisa dihukumi mubah (boleh)” sampai perkataannya “Maka inilah yang kami maksud dengan bid’ah yang makruh dan tercela”.
Sebab ‘amaliyah maulid ini adalah sesuatu yang baru namun tidak bertentangan dengan Al Quran, Hadits, atsâr, dan ijmâ’, maka maulid ini tidak tercela sebagaimana menurut analisa Imam Syafi’i, dan maulid ini termasuk sebuah perbuatan baik yang belum dijumpai pada generasi awal. Sebab memberi hidangan yang jauh dari perbuatan berdosa adalah suatu kebaikan.
Jadi maulid adalah termasuk bid’ah yang dianjurkan (mandûbah) sebagaimana menurut analisa Ibnu Abdissalam.[]



Link Download : PDF (Belum Tersedia)
                           
Sumber : Buku Muslim Sejati wajib memperingati Maulid Nabi
Di Upload oleh OSMADIM (Organisasi Santri Madrasah Diniyah Manbaul Falah) Sie TIK

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.