Shalat
Tahajjud memiliki kedudukan yang sangat tinggi apabila dibandingkan
dengan shalat-shalat sunnah yang lain. Hal itu terjadi karena Shalat
Tahajjud pernah menjadi Shalat yang diwajibkan sebelum wajibnya Shalat
Lima Waktu, meskipun kewajiban itu hanya bagi Rasulullah r.[1]
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Orang
ini (Abu Bakar) melakukannya karena berhati-hati dan yakin, sedangkan
yang ini (Umar bin Khatthab) melakukannya dengan kuat”. (HR. Nasai dan Darami)[2]
Bahkan secara khusus Allah berfirman seraya menyeru kepada Nabi Muhammad tentang shalat malam tersebut:
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), Bangunlah (untuk melakukan shalat) di malam hari[3], kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit”. (QS. Al-Muzammil; 1-3)
Dalam sebuah riwayat juga telah dinyatakan:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: ثَلاَثَةٌ
عَلَيَّ فَرِيْضَةٌ، وَهِيَ لَكُمْ سُنَّةٌ: الْوِتْرُ، وَالسِّوَاكُ،
وَقِيَامُ اللَّيْلِ
“Dari
Aisyah ra, dia berkata: Rasulullah bersabda: “Terdapat tiga hal yang
wajib bagiku namun sunnah bagi kalian, yaitu Shalat Witir, bersiwak, dan
shalat malam”. (HR. Baihaqi)[4]
Oleh
karena itu, Imam Syafi’i pernah mengatakan: “Barangsiapa meninggalkan
salah satu dari Shalat Tahajjud dan Shalat Witir maka orang tersebut
lebih jelek dari orang yang meninggalkan shalat yang disunnahkan pada
siang dan malam hari secara keseluruhan”.[5]
Shalat
Tahajjud memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan lebih utama apabila
dibanding dengan shalat-shalat malam yang lain. Hanya Shalat Witir yang
menyamai kedudukan Shalat Tahajjud. Baru kemudian Shalat Dua Rakaat
Fajar berada di bawah keduanya.[6]
Meninggalkan Shalat Tahajjud bagi orang yang terbiasa melaksanakannya hukumnya adalah makruh.[7]
Imam
Abu al-Walid an-Naysaburi menyatakan: “Dalam sebuah riwayat dikatakan
bahwa orang yang istiqamah melakukan Shalat Tahajjud dapat memberikan
syafaat (pertolongan) kepada keluarganya kelak ketika berada di
akhirat”.[8]
Dalam
sebuah cerita, ada seorang ulama yang bermimpi bertemu dengan Imam
al-Junaidi al-Baghdadi, ulama tersebut bertanya kepadanya: “Apa yang
engkau peroleh dari Allah?” Imam Junaidi menjawab: “Petunjuk-petunjuk
itu membingungkan, contoh-contoh itu sirna, dan ilmu-ilmu itu raib.
Tidak ada yang memberikan manfaat kepadaku melainkan hanya shalat yang
aku kerjakan pada waktu sahur (Shalat Tahajjud)”.[9]
[1] An-Nawawi al-Jawi, Murâch Labîd, 103. Isma’il al-Baruswi, Rawchu al-Bayân, X/258. Al-Chaqqi, Tafsîr Chaqqi, XVI/352. Abu Hanifah, Musnadu Abi Hanîfah, I/53. Muhammad Anwar Syah bin Mu’adzim, Al-‘Urfu as-Syadzi Syarhi Sunan Tirmidi, II/40. Al-Mawardi, Al-Châwî al-Kabir fî Fiqhi asy-Syâfi’î, II/376
[2] Al-Nasa’i, Sunan al-Kubrâ, I/414/1313. Ad-Darami, Sunan ad-Darami, III/23/1483
[3] Shalat
malam ini pada mulanya wajib sebelum turun ayat ke 20 dalam surat ini.
Setelah turunnya ayat ke 20 maka hukumnya menjadi sunnah
[4] Al-Baihaqi, Sunan al-Kubrâ, X/152/13434. Jalaluddin As-Suyuthi, Jâmi’u al-Masânidi wa al-Marâsili, IV/176/10930. Al-Mutqi al-Hindi, Kanzu al-Ummâli, I/1421/19540
[5] Asy-Syafi’i, Al-Umm, I/74. Al-Muzani, Mukhtasharu al-Muzani, I/32. Al-Mawardi, Al-Châwî al-Kabir fî Fiqhi asy-Syâfi’î, II/363
[6] Asy-Syafi’i, Al-Umm, I/74. Al-Muzani, Mukhtasharu al-Muzani, I/32. Al-Mawardi, Al-Châwî al-Kabir fî Fiqhi asy-Syâfi’î, II/363
[7] Al-Khatib asy-Syarbini, Al-Iqnâ’ fî Challi Alfâdzi Abî Sujâ’, I/257. Al-Khatib asy-Syarbini, Mughnî al-Muchtâj ilâ Ma’rifati Ma’âni Alfâdzi al-Minhâj, I/301. Sulaiman al-Bujairami, Châsyiyatu al-Bujairami ‘Ala al-Khatîb, I/213. Al-Mawardi, Al-Châwî al-Kabir fî Fiqhi asy-Syâfi’î, II/376
[8] Al-Khatib asy-Syarbini, Al-Iqnâ’ fî Challi Alfâdzi Abî Sujâ’, I/257. Al-Khatib asy-Syarbini, Mughnî al-Muchtâj ilâ Ma’rifati Ma’âni Alfâdzi al-Minhâj, I/301. Sulaiman al-Bujairami, Châsyiyatu al-Bujairami ‘Ala al-Khatîb, I/213. Al-Mawardi, Al-Châwî al-Kabir fî Fiqhi asy-Syâfi’î, II/376
[9] Al-Khatib asy-Syarbini, Al-Iqnâ’ fî Challi Alfâdzi Abî Sujâ’, I/257. Al-Khatib asy-Syarbini, Mughnî al-Muchtâj ilâ Ma’rifati Ma’âni Alfâdzi al-Minhâj, I/301. Sulaiman al-Bujairami, Châsyiyatu al-Bujairami ‘Ala al-Khatîb, I/213. Al-Mawardi, Al-Châwî al-Kabir fî Fiqhi asy-Syâfi’î, II/376
Sumber : http://islam-adalah.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar