...

BID’AH ?

Leave a Comment
مَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَ مَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka itu menurut Allah baik, dan apa yang dianggap jelek oleh kaum muslimin, maka itu menurut Allah jelek”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (no.3418), al-Hakim (no 4439), at- Thabarâni, al-Baihaqi dan lain-lain. Hadits ini tidak marfu’ sampai Nabi tetapi mauquf sampai shahabat Abdullah bin Mas’ud dengan sanad shahih menurut al-Hakim.
Hadits ini dalam kitab-kitab ushul fiqh dijadikan salah satu dalil ijma’ (konsensus ulama mujtahidin) dan dalam kitab-kitab kaidah fiqh dijadikan dalil dalam kaidah al-‘Adah Muhakkamah. Hadits ini marfu' sampai Rasulullah sehingga dapat dijadikan hujjah (dalil) untuk mentakhsish keumuman hadits tentang semua bid'ah adalah sesat.
Sehingga sudah tepat bagi ulama yang menetapkan hadits di atas sebagai dalil adanya bid'ah hasanah (bid'ah yang tidak dilarang dalam agama). Andai hadits di atas tidak bisa diterima sebagai dalil, maka masih ada dalil lain yang dijadikan ulama sebagai pijakan tentang bid'ah hasanah seperti yang akan diterangkan, insya Allah.
As-Syafi'i mengatakan, "Setiap perkara baru yang bertentangan dengan Al Quran, as-Sunnah, Ijma' dan atsar (ucapan para shahabat) adalah bid'ah yang jelek, dan jika tidak bertentangan dengan dasar-dasar tersebut, maka dikatakan bid'ah mahmudah (baik)”.
Menurut Sayyid Muhammad dalam al-Mafahim, bahwa tidak semua dalil baik al Qur'an atau hadits langsung dapat difahami mentah tanpa adanya pemahaman mendalam yang benar dan tahqiq. Diantaranya adalah hadits:
كُلُّ بــِدْعَةٍ ضَلاَلةٌ
“Semua bid’ah adalah sesat”
Hadits ini harus difahami bahwa yang dimaksud adalah bid’ah jelek saja dengan tanpa memasukkan bid’ah hasanah (yang baik), karena kata kullu tidak berarti mencakup terhadap keseluruhan. Seperti QS. Al-Anbiya', 30:
"Dan Kami telah menjadikan setiap sesuatu yang hidup dari air "
Bukan berarti ayat tersebut difahami bahwa semua makhluk hidup dijadikan oleh Allah dari air, karena makhluk jin dijadikan dari api. Seperti QS. Ar-Rahman, 15:
“Dan Dia menciptakan jin dari nyala api”
Serta firman Allah:
”Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan Aku bertujuan merusakkan bahtera itu, Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera”. (QS. Al Kahfi; 79)
Hal yang semacam ini tampaknya tidak difahami oleh orang yang tidak faham tentang bid’ah tetapi merasa sangat faham tentang bid’ah, sehingga dengan mudah menilai salah dan hina ulama yang membagi hukum-hukum bid'ah.
Memang, sebenarnya masalah tentang ada dan tidaknya istilah bid’ah hasanah, kalangan ulama ahlussunnah masih berselisih dan semua mempunyai hujjah-hujjah yang kuat meski perbedaan tersebut hanya secara lafadz atau istilah saja. As-Syathibi yang menginkari terhadap adanya istilah bid'ah hasanah berpendapat bahwa bid’ah hasanah tidak dinamakan bid'ah, karena dalil yang ada menunjukkan keumuman bahwa semua bid'ah adalah dhalalah, dan as-Syathibi tetap memperbolehkan melakukan hal-hal yang dianggap bid'ah hasanah karena adanya dalil secara umum yaitu al mashalih al mursalah yang meskipun masih diperselisihkan oleh para pakar ahli ushul fiqh. Oleh karena itu alangkah lebih bijaknya jika masalah ini didudukkan sebagai masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, sehingga mulut kita tidak dengan enteng menyalahkan ulama yang lain, karena selain masalah ini adalah ijtihadiyyah, juga penilaian buruk kepada ulama Islam dengan tidak beradab bukanlah sifat dan jiwa as-salaf as-shalih.
Diantara ulama yang mengatakan adanya bid’ah hasanah adalah as-Syafi'i, Ibnu Hajar al-Asqalani, Izziddin bin Abdis Salam, an-Nawawi, as-Suyuthi, al-Qarafi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Haitami, Abu Syamah dan ulama-ulama yang lain.
Sebagian ulama juga ada yang membagi bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah syar'iyyah dan bid'ah lughawiyyah. Jika bid'ah syar'iyyah semua dlalalah, sedangkan bid'ah lughawiyyah dibagi menjadi dua, yaitu hasanah (baik) dan madzmumah (tercela).
Dalil yang digunakan dalam menentukan adanya bid’ah hasanah adalah:
1.      Perkataan Sayyidina Umar saat membuat tarawih berjamaah, "Ini adalah peling ni'matnya bid'ah "
2.      Pengumpulan Al Quran pada zaman khalifah Abu Bakar bersama Umar dan Zaid bin Tsabit. Saat Zaid mendapat mandat untuk mengumpulkan Al Quran, beliau mengatakan kepada Abu Bakar, "Bagaimana mungkin engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulallah?".
3.      Sabda Rasulullah:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بــِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Siapa saja yang membuat perilaku baik, maka dia mendapatkan pahala dari perilaku tersebut dan pahala orang-orang yang melakukannya sampai hari kiamat”





 sumber:  Ali Maghfur Syadzili










SELUK BELUK SHALAT TARAWIH

Leave a Comment
Oleh,
Tarawih Pertama
كَانَ ذَلِكَ (التَّرَاوِيْحُ) فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ حِينَ بَقِيَ مِنْ رَمَضَانَ سَبْعُ لَيَالٍ لَكِنْ صَلَّاهَا مُتَفَرِّقَةً لَيْلَةَ الثَّالِثِ وَالْعِشْرِينَ وَالْخَامِسَةِ وَالسَّابِعَةِ ثُمَّ انْتَظَرُوْهُ فَلَمْ يَخْرُجْ وَقَالَ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا
“Keberadaan Tarawih dilakukan pada tahun kedua (Hijriyyah) ketika Ramadlan tersisa 7 malam, tetapi beliau (Nabi Muhammad) melakukannya (di masjid) secara terpisah, yaitu pada malam ke-23, 25 dan 27, kemudian para sahabat menanti beliau, tetapi beliau tidak keluar (ke masjid). (Besoknya) beliau berkata “Saya hawatir Tarawih diwajibkan bagi kalian, lalu kalian tidak mampu melakukannya”.[1]
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلّٰى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلّٰى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتّٰى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ لَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا
“Dari Urwah, sesungguhnya Aisyah mengabarkan kepadanya, sesungguhnya Rasulullah e keluar pada suatu malam dari pertengahan malam, lalu melakukan shalat di masjid, kemudian ada seorang lelaki yang shalat bersama (menjadi makmum) Nabi. Pada pagi harinya, para sahabat membicarakannya, lalu banyak yang berkumpul untuk shalat bersama beliau. Pada pagi harinya, para sahabat membicarakannya, lalu pada malam ketiga banyak sekali jamaah masjid tersebut, kemudian Nabi keluar dan mereka shalat bersama (menjadi makmum) Nabi. Pada malam ke-4, masjid tidak mampu menampung jamaahnya sampai Nabi keluar untuk shalat shubuh. Setelah selelasi shalat shubuh, Nabi berkata “Saya tidak menghawatirkan tempat kalian, tetapi saya hawatir shalat tarawih diwajibkan bagi kalian, lalu kalian tidak mampu (berat) melakukannya”.[2]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ كَانَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَ بِعَزِيْمَةٍ فَيَقُوْلُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ وَالْأَمْرُ عَلَى ذٰلِكَ ثُمَّ كَانَ الْأَمْرُ عَلَى ذٰلِكَ فِي خِلَافَةِ أَبِيْ بَكْرٍ وَصَدْرًا مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
“Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah e sangat menyukai shalat Tarawih, tetapi anjurannya tidak mengharuskan, lalu beliu berkata “Barangsiapa bertarawih dengan iman dan karena ridla Allah, maka dosanya yang telah lalu diampuni”. Ibnu Syihab berkata “Sampai Rasulullah wafat, begitulah keadaan Tarawih. Dan begitulah keadaan Tarawih pada khilafah Abu Bakar dan pada permulaan khilafah Umar bin Khatthab”.[3] 
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ. 
“Dari Abdurrahman bin Abd al-Qari, sesungguhnya dia mengatakan: “Saya keluar bersama Umar bin Khatthab t pada suatu malam di bulan Ramadhan ke sebuah masjid, ternyata manusia berkelompok sendiri-sendiri. Seseorang melakukan shalat masing-masing lalu ada kelompok lain yang bergabung. Kemudian sahabat Umar berkata: “Sesungguhnya saya berkeyakinan seandainya saya mengumpulkan mereka pada satu orang yang ahli membaca Al Quran maka pasti itu lebih bagus”. Lalu beliau berkehendak dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Setelah itu saya keluar bersamanya pada malam yang lain, ternyata manusia melaksanakan shalat dengan orang yang ahli membaca Al Quran. Sahabat Umar berkata: “ini adalah Bid’ah terbaik”.[4]
Rakaat Tarawih Menurut Para Sahabat Nabi e 
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ كَانَ يُصَلِّيْ فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ.
“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasulullah e bertarawih sebanyak 20 rakaat dan shalat Witir”.[5]
أَنَّ يَزِيْدَ بْنِ رَوْمَانَ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Sesungguhnya Yazid bin Rauman berkata: “Umat Islam pada masa Umar bin Khatthab bertarawih dengan 23 rakaat (beserta witir)”.[6]
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ قَالَ: كُنَّا نَقُوْمُ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ.
“Dari Sa’ib bin Yazid, dia berkata: “Kami melakukan shalat (Tarawih) pada zaman Umar bin Khatthab dengan dua puluh rakaat dan witir”.[7]
وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Kebanyakan para ulama berpedoman pada apa yang diriwayatkan dari Umar bin Khatthab, Ali bin Abi Thalib dan sahabat-sahabat Nabi selain mereka berdua, bahwa jumlah rakaat Tarawih adalah 20 rakaat”.[8]
عَنْ أَبِى الْحَسْنَاءِ أَنَّ عَلِيًّا أَمَرَ رَجُلًا يُصَلِّيْ بِهِمْ فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً.
“Dari Abi Chasna’, sesungguhnya sahabat Ali bin Abi Thalib memerintahkan seseorang agar shalat dengan orang lain pada bulan Ramadlan (bertarawih) sebanyak 20 rakaat”.[9]
عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيْدٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَمَرَ رَجُلًا يُصَلِّيْ بِهِمْ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً.
“Dari Yahya bin Sa’id, sesungguhnya sahabat Umar bin Khatthab memerintahkan seseorang agar shalat dengan orang lain pada bulan Ramadlan (bertarawih) sebanyak 20 rakaat”.[10]
عَنْ عُمَرَ قَالَ كَانَ ابْنُ أَبِيْ مَلِيْكَةَ يُصَلِّى بِنَا فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Dari Umar, dia berkata “Ibnu Abi Malikah shalat bersamaku pada bulan Ramadlan (bertarawih) sebanyak 20 rakaat”.[11]
عَنْ حَسَنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ بْنِ رَفِيْعٍ قَالَ كَانَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّيْ بِالنَّاسِ فِيْ رَمَضَانَ بِالْمَدِيْنَةِ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَيُوْتِرُ بِثَلَاثٍ.

“Dari Chasan Abdul Aziz bin Rafi’, dia berkata “Ubay bin Ka’ab shalat dengan orang lain pada bulan Ramadlan (bertarawih) di Madinah sebanyak 20 rakaat dan berwitir dengan 3 rakaat”.[12]
عَنِ الْحَارِثِ أَنَّهُ كَانَ يَؤُمُّ النَّاسَ فِيْ رَمَضَانَ بِاللَّيْلِ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَيُوْتِرُ بِثَلَاثٍ
“Dari Charis, sesungguhnya dia menjadi imam pada malam bulan Ramadlan dengan 20 rakaat dan berwitir dengan 3 rakaat”.[13]
عَنْ وَقَاءٍ قَالَ كَانَ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ يَؤُمُّنَا فِيْ رَمَضَانَ فَيُصَلِّيْ بِنَا عِشْرِيْنَ
“Dari Waqa’, Said bin Jabir menjadi imam kami pada bulan Ramadlan dan shalat dengan 20 rakaat”.[14]
وَرَوَى الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَقُوْمُوْنَ عَلٰى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً
“Imam Baihaqi dan lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih, sesungguhnya umat Islam pada masa Umar bin Khatthab bertarawih pada bulan Ramadlan dengan 20 rakaat”.[15]
Rakaat Tarawih Menurut Madzhab
وَعَنْ مَالِكٍ أَنَّهَا سِتٌّ وَثَلَاثُوْنَ رَكْعَةً لِفِعْلِ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَرَوَى مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ
“Imam Baihaqi dan lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih, sesungguhnya umat Islam pada masa Umar bin Khatthab bertarawih pada bulan Ramadlan dengan 23 rakaat”.[16]
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَهٰكَذَا أَدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا بِمَكَّةَ يُصَلُّوْنَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Imam Syafi’i berkata “Beginilah yang saya temukan di Makkah, mereka shalat 20 rakaat”.[17]
صَلَاةُ التَّرَاوِيْحِ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ وَبِهِ قَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَأَحْمَدُ
“Shalat Tarawih adalah 20 rakaat dengan 10 kali salam. Begitulah kata Imam Chanafi dan Imam Hambali”.[18]
وَإِنَّمَا لَمْ يَخْرُجْ ﷺ عَلَى الْوَلَاءِ رِفْقًا بِهِمْ وَكَانَ يُصَلِّيْ بِهِمْ ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ لَكِنْ كَانَ يُكْمِلُهَا عِشْرِيْنَ فِي بَيْتِهِ وَكَانَتِ الصَّحَابَةُ تُكْمِلُهَا كَذٰلِكَ فِيْ بُيُوْتِهِمْ، وَإِنَّمَا لَمْ يُكْمِلْ بِهِمُ الْعِشْرِيْنَ فِي الْمَسْجِدِ شَفَقَةً عَلَيْهِمْ .
“Sungguh pasti, Rasulullah tidak keluar secara terus menerus karena kasihan kepada umat Islam. Dan beliau melakukan shalat dengan umat Islam sebanyak 8 rakaat tetapi beliau menyempurnakannya 20 di rumah, begitu pula para sahabat menyempurnakannya di rumah. Beliau tidak menyempurnakan 20 rakaat di masjid karena kasihan kepada umat Islam”.[19]
وَتَعْيِيْنُ كَوْنِهَا عِشْرِيْنَ جَاءَ فِيْ حَدِيْثٍ ضَعِيْفٍ لَكِنْ أَجْمَعَ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالٰى عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ
“Ketentuan adanya rakaat Tarawih sebanyak 20 adalah hadits dlai’f tetapi keseluruhan para sahabat menyepakatinya”.[20]


[1] Tuchfah al-Muchtâj fî Syarh al-Minhâj, VII/328. Nihâyah al-Muchtâj fî Syarh al-Minhâj, V/362. Chawâsyay asy-Syarwânî wa al-‘Ubbâdî, II/240

[2]Shahih Bukhari, III/459/876 dan IV/260/1061. Shahih Muslim, IV/148-149/1270-1271. Musnad Ahmad, XXXXXI/351/24194 dan 426/24274. Shahih Ibnu Hibban, II/64-66/2593-2594. Shahih Ibnu Chuzaimah, VIII/137/2021. Sunan Abu Dawud, IV/137/1166. Sunan Nasai, VII/375/2164

[3] Shahih Bukhari, VII/134. Shahih Muslim, IV/145. Muwatthau Malik, I/338

[4]Shahîh al-Bukhâri, VII/135/1871. As-Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqi, II/493. Syu’ab al-Imân li al-Baihaqi, VII/271/3122. Muwattha’u Mâlik, I/340/231

[5] Mushannaf Abî Syaibah, II/286/227. Al-Mathâlib al-‘Âliyyah li al-Châfidz Ibni Chajar al-‘Asqalanî, II/282/624. Syarchu Ibni Bathâl, V/154/81. At-Tamhîd Limâ Fi al-Muwathha’ Min al-Ma’ânî Wa al-Asânid, Abu ‘Amr Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Barri al-Qurthubi, VIII/115

[6] Muwattha’ Mâlik, I/342/254. Tanwîr al-Chawâlik, Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi, I/122/254. Nasbu ar-Râyah, Jamaluddin Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf az-Zayla’i, II/154. Ma’rifah as-Sunan Wa al-Âtsar li al-Baihaqi, IV/207/1443

[7] As-Sunan As-Shaghîr li al-Baihaqi, II/258/648. Ma’rifah as-Sunan Wa al-Âtsar li al-Baihaqi, IV/207/1443. Tuchfah al-Achwadzî bi Syarchi Jâmi’i at-Turmudzi, II/349/734

[8] Sunan Turmudzi, III/299

[9] Mushannaf Abî Syaibah, II/285/227. Tuchfah al-Achwadzî bi Syarchi Jâmi’i at-Turmudzi, II/349/734. At-Tamhîd Limâ Fi al-Muwathha’ Min al-Ma’ânî Wa al-Asânid, Abu ‘Amr Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Barri al-Qurthubi, VIII/115

[10] Mushannaf Abi Syaibah, II/285. Tuchfah al-Achwadzî bi Syarchi Jâmi’i at-Turmudzi, II/349/734

[11] Mushannaf Abi Syaibah, II/285

[12] Mushannaf Abi Syaibah, II/285

[13] Mushannaf Abi Syaibah, II/285

[14] Mushannaf Abi Syaibah, II/285

[15] Al-Majmu’, III/33. Asna al-Mathalib, III/188. I’anah at-Thalibin, I/306

[16] Al-Majmu’, III/32. Asna al-Mathalib, III/188. I’anah at-Thalibin, I/306. Syarh Wajiz, IV/264

[17] Sunan Turmudzi, III/734. Al-Majmu’, III/33  

[18] Syarh Wajiz, IV/264. Al-Majmu’, III/33

[19] Tuchfah al-Muchtaj fi Syarh al-Minhaj, VII/330

[20] Syarwani, II/240

Ternyata Rasul Mengajarkan Tawassul

Leave a Comment
LBM NU Kota Surabaya
Ternyata tawassul tidak hanya diperbolehkan saja, namun pernah diajarkan oleh Rasulullah yang berarti menunjukkan makna sunnah. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut ini:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ t أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ عَلِّمْنِيْ دُعَاءً أَدْعُوْ بِهِ يَرُدُّ اللهُ عَلَيَّ بَصَرِيْ، فَقَالَ لَهُ قُلِ اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ قَدْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلٰى رَبِّيْ أَللّٰهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِيْ فِيْ نَفْسِيْ فَدَعَا بِهٰذَا الدُّعَاءِ فَقَامَ وَقَدْ أَبْصَرَ
“Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang buta datang kepada Rasulullah e berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkan saya sebuah doa yang akan saya baca agar Allah mengembalikan penglihatan saya”. Rasulullah berkata: “Bacalah doa (artinya): “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat. Kemudian ia berdoa dengan doa tersebut, ia berdiri dan telah bisa melihat”. (HR. Hakim dalam al-Mustadrak).
Beliau mengatakan bahwa hadits ini adalah shahih dari segi sanad walaupun Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan bahwa hadits ini adalah shahih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa'wat mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih gharib.
Dalam riwayat Turmudzi disebutkan bahwa Utsman berkata: “Demi Allah kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar”.
Dan Imam Mundziri dalam kitabnya at-Targhib Wa at-Tarhib, 1/438, mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shahihnya).
Ada dua hal yang dapat diambil kesimpulan dari hadits ini, bahwa:
1.      Doa tersebut memang benar-benar dibaca oleh orang yang buta, bukan didoakan oleh Rasulullah e. Sementara Nasiruddin al-Albani (ulama Wahhabi) berpendapat bahwa orang buta tadi sembuh karena didoakan oleh Rasulullah. Pendapat ini sama sekali tidak ada dasarnya dan bertentangan dengan riwayat al-Hakim diatas. Hal ini dikarenakan setelah al-Albani tidak mampu melemahkan hadits ini secara sanad, lantas al-Albani dan kelompoknya berupaya untuk mengaburkan makna teks hadits tersebut dengan menyatakan bahwa doa itu dibacakan oleh Rasulullah. Hali itu dilakukan karena ia telah terlanjur melarang tawassul, sehingga ia memalingkan makna hadits di atas dengan berdasarkan nafsunya.
2.      Rasulullah mengajarkan doa bertawassul dengan menyebut nama beliau di atas tidak hanya berlaku bagi orang buta tersebut dan di masa Rasul hidup saja, sebab Rasulullah tidak membatasinya. Dan seandainya tawassul setelah Rasulullah wafat dilarang, maka sudah pasti Rasulullah akan melarangnya dan menyatakan bahwa doa ini hanya boleh dibaca oleh orang buta tersebut ketika Rasul masih hidup, sebagaimana dalam masalah penyembelihan hewan qurban yang hanya dikhususkan kepada Abu Burdah saja, yaitu sabda Rasulullah:
ضَحِّ بِالْجَذَعِ مِنَ الْمَعْزِ وَلَنْ تَجْزِئَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ )رواه البخارى ومسلم عن أبى سعيد الخذرى(
“Sembelihlah kambing usia satu tahun itu, dan hal itu tidak berlaku lagi bagi orang lain selain kamu”. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa'id al-Khudri)

sumber:  Ali Maghfur Syadzili

Benarkah Doa Orang yang Hidup Tidak Sampai Pada Mayit

Leave a Comment
Oleh,
Sebagian diantara ummat Islam yang mengklaim dirinya paling Islam menyatakan bahwa mengirim pahala atau doa kepada orang yang telah meninggal tidak akan pernah bisa sampai. Ketika ditanya tentang dasar yang mereka pakai sebagai landasan pernyataan mereka, maka mereka akan menjawab bahwa pernyataan mereka itu berdasarakan:
Firman Allah:
wr& âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& ÇÌÑÈ br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9 wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ
“(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. An-Najm; 38-39)
Ayat yang senada juga terdapat pada surat Al-An’am;164, Al-Isro’;15, Fathir;18, dan Az-Zumar; 7.
Serta berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berasal dari sahabat Abu Hurairah:
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang manusia meninggal maka terputus amalnya kecuali yang tiga hal, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya.”
Benarkah ayat dan hadits di atas bermakna sempit seperti yang diyakini oleh mereka yang menyatakan bahwa kiriman pahala atau doa dari orang lain tidak akan pernah sampai kepada orang yang telah meninggal?
Jika ayat tersebut dipahami sesempit itu maka bagaimana dengan sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:
يَجِيءُ الرَّجُلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْحَسَنَاتِ بِمَا يَظُنُّ أَنَّهُ يَنْجُو بِهَا، فَلا يَزَالُ رَجُلٌ يَجِيءُ قَدْ ظَلَمَهُ بِمَظْلَمَةٍ، فَيُؤْخَذُ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَيُعْطَى الْمَظْلُومُ حَتَّى لا يَبْقَى لَهُ حَسَنَةٌ، ثُمَّ يَجِيءُ مَنْ يَطْلُبُهُ، وَلَمْ يَبْقَ مِنْ حَسَنَاتِهِ شَيْءٌ، فَيُؤْخَذُ مِنْ سَيِّئَاتِ الْمَظْلُومِ، فَيُوضَعُ عَلَى سَيِّئَاتِهِ (رواه الحاكم والطبراني)
“Pada hari kiamat datang seorang lelaki dengan kebaikan-kebaikannya yang dikira akan mampu menyelamatkannya. Namun ternyata lelaki itu adalah orang yang suka berbuat dhalim. Kebaikan-kebaikan itu diambil dan diberikan kepada orang yang didhalimi sampai dia tidak memiliki kabaikan sedikitpun. Kemudian datang orang lain yang didhalimi lagi tetapi dia sudah tidak memiliki kebaikan maka diambilllah kejelakan orang yang didhalimi yang lalu diberikan kepadanya”. (HR. Hakim dan Thabrani)
Dan masih banyak hadits lain yang menerangkan pemindahan kebaikan dan kejelekan kepada orang lain, seperti orang yang menfitnah, menggunjing dan lain sebagainya.
Sedangkan yang berkaitan dengan hadits Muslim di atas, Imam Nawawi dalam “Syarh”nya menyebutkan bahwa para ulama mengatakan: ”Makna hadits itu adalah amal orang yang meninggal terputus dengan kematiannya dan terputuslah jawaban baginya kecuali tiga hal karena dirinya yang menjadi sebab itu semua. Sesungguhnya anak merupakan hasil dari usahanya demikian pula ilmu yang ditinggalkannya dari pengajaran atau karya-karyanya serta sedekah jariyah adalah wakaf.”
Imam Nawawi juga menyebutkan bahwa hadits itu menjelaskan bahwa doa pahalanya akan sampai kepada si mayit, demikian pula sedekah, keduanya adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XI juz 122 - 123)
Jadi ternyata ayat tersebut menceritakan tentang orang yang tidak pernah melakukan apa-apa lantas ada kesalahan pemberian pahala dan pelimpahan dosa orang lain. Karena hal itu tidak akan mungkin terjadi.
Atau kalau ingin lebih fair lagi, justru hadits Muslim tersebut menerangkan sampainya kiriman pahala orang lain kepada orang yang telah meninggal, karena di dalamnya terdapat amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat. Adakah amal jariyah yang tidak dikirimkan oleh orang lain? Apakah orang yang telah meninggal dapat mengamalkan ilmunya? Jawabannya adalah amal jariyah dan ilmu manfaat yang dimaksud adalah yang dilakukan oleh orang lain setelah dia (orang yang beramal dan mengajarkan ilmu) telah meninggal dunia.
Atau bagaimanakah cara mereka memahami hadits:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه المسلم وأحمد والطبراني والبيهقي وابن ماجة وابن حبان)
“Barangsiapa mengajarkan kebaikan dalam Islam lalu orang yang diajari melakukannya maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melaksanakan dengan tanpa berkurang sedikitpun. Dan barangsiapa mengajarkan kejelekan dalam Islam lalu orang yang diajari melakukannya maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang melaksanakan dengan tanpa berkurang sedikitpun.” (HR. Muslim, Ahmad, Thabrani, Baihaqi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)
Untuk lebih jelasnya bahwa kiriman pahala atau doa kepada orang yang telah meninggal bisa sampai, banyak sekali landasan yang ada, baik dari Al Quran maupun Hadits. Diantaranya adalah:
Firman Allah I:
وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10)
Di dalam doa tasyahud juga disebutkan:
السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ (متفق عليه)
“Semoga kesejahteraan bagimu wahai Nabi juga rahmat dan berkah Allah. Semoga kesejahteraan juga kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shaleh” Sesungguhnya apabila dia mengatakan hal itu maka akan mengenai setiap hamba yang shaleh di langit dan bumi.” (HR. Bukhari Muslim)
Juga disyariatkannya doa seorang muslim untuk kaum muslimin yang telah meninggal apabila dia melintasi pemakaman, sebagaimana didalam hadits Buraidah berkata, ”Rasulullah ﷺ mengajari mereka apabila keluar menuju pemakaman hendaklah mengatakan:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ
“Semoga kesejahteraan bagi kalian wahai para penghuni kubur dari kalangan mukminin dan muslimin. Dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul. Aku meminta kepada Allah keselamatan buat kami dan kalian.” (HR. Muslim)
Hadits senada dengan redaksi yang berbeda juga banyak dijumpai pada kitab hadits yang lain.
Demikian pula doa untuk mayit ketika menshalatinya, didalam hadits Abu Hurairoh berkata,”Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila kalian menshalati seorang mayit maka ikhlaskanlah doamu untuknya.” (HR. Abu Daud)

Puasa Bulan Rajab

Leave a Comment
Rajab adalah bulan ke tujuh dari penggalan Islam qomariyah (hijriyah). Peristiwa Isra Mi’raj  Nabi Muhammad  shalallah ‘alaih wasallam  untuk menerima perintah salat lima waktu terjadi pada 27 Rajab ini.

Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram, artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat  bulan haram, ketiganya secara berurutan  adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri,  Rajab.

Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan  ini, Al-Qur’an menjelaskan:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”


Hukum Puasa Rajab

Hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab) itu cukup menjadi hujjah atau landasan mengenai keutamaan puasa di bulan Rajab.

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"

Menurut as-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.

Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan  berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan  Rajab).

Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumid-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum  di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.

Disebutkan dalam  Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu dzulqa’dah, dzul hijjah, rajab dan  muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.

Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan, telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul SAW menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).


Hadis Keutamaan Rajab

Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan kekhususan puasa bulan Rajab:

• Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah SAW memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).

• "Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."

• Riwayat al-Thabarani dari Sa'id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana  berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya....."

• "Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut".

• Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku."

• Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”.

Sumber : http://www.nu.or.id

KEDUDUKAN DAN Keutamaan Shalat Tahajjud

Leave a Comment

Shalat Tahajjud memiliki kedudukan yang sangat tinggi apabila dibandingkan dengan shalat-shalat sunnah yang lain. Hal itu terjadi karena Shalat Tahajjud pernah menjadi Shalat yang diwajibkan sebelum wajibnya Shalat Lima Waktu, meskipun kewajiban itu hanya bagi Rasulullah r.[1]
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Orang ini (Abu Bakar) melakukannya karena berhati-hati dan yakin, sedangkan yang ini (Umar bin Khatthab) melakukannya dengan kuat”. (HR. Nasai dan Darami)[2]
Bahkan secara khusus Allah berfirman seraya menyeru kepada Nabi Muhammad tentang shalat malam tersebut:
 “Hai orang yang berselimut (Muhammad), Bangunlah (untuk melakukan shalat) di malam hari[3], kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit”. (QS. Al-Muzammil; 1-3)
Dalam sebuah riwayat juga telah dinyatakan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: ثَلاَثَةٌ عَلَيَّ فَرِيْضَةٌ، وَهِيَ لَكُمْ سُنَّةٌ: الْوِتْرُ، وَالسِّوَاكُ، وَقِيَامُ اللَّيْلِ
Dari Aisyah ra, dia berkata: Rasulullah bersabda: “Terdapat tiga hal yang wajib bagiku namun sunnah bagi kalian, yaitu Shalat Witir, bersiwak, dan shalat malam”. (HR. Baihaqi)[4]
Oleh karena itu, Imam Syafi’i pernah mengatakan: “Barangsiapa meninggalkan salah satu dari Shalat Tahajjud dan Shalat Witir maka orang tersebut lebih jelek dari orang yang meninggalkan shalat yang disunnahkan pada siang dan malam hari secara keseluruhan”.[5]
Shalat Tahajjud memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan lebih utama apabila dibanding dengan shalat-shalat malam yang lain. Hanya Shalat Witir yang menyamai kedudukan Shalat Tahajjud. Baru kemudian Shalat Dua Rakaat Fajar berada di bawah keduanya.[6]
Meninggalkan Shalat Tahajjud bagi orang yang terbiasa melaksanakannya hukumnya adalah makruh.[7]
Imam Abu al-Walid an-Naysaburi menyatakan: “Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa orang yang istiqamah melakukan Shalat Tahajjud dapat memberikan syafaat (pertolongan) kepada keluarganya kelak ketika berada di akhirat”.[8]
Dalam sebuah cerita, ada seorang ulama yang bermimpi bertemu dengan Imam al-Junaidi al-Baghdadi, ulama tersebut bertanya kepadanya: “Apa yang engkau peroleh dari Allah?” Imam Junaidi menjawab: “Petunjuk-petunjuk itu membingungkan, contoh-contoh itu sirna, dan ilmu-ilmu itu raib. Tidak ada yang memberikan manfaat kepadaku melainkan hanya shalat yang aku kerjakan pada waktu sahur (Shalat Tahajjud)”.[9]



[1] An-Nawawi al-Jawi, Murâch Labîd, 103. Isma’il al-Baruswi, Rawchu al-Bayân, X/258. Al-Chaqqi, Tafsîr Chaqqi, XVI/352. Abu Hanifah, Musnadu Abi Hanîfah, I/53. Muhammad Anwar Syah bin Mu’adzim, Al-‘Urfu as-Syadzi Syarhi Sunan Tirmidi, II/40. Al-Mawardi, Al-Châwî al-Kabir fî Fiqhi asy-Syâfi’î, II/376
[2] Al-Nasa’i, Sunan al-Kubrâ, I/414/1313. Ad-Darami, Sunan ad-Darami, III/23/1483
[3] Shalat malam ini pada mulanya wajib sebelum turun ayat ke 20 dalam surat ini. Setelah turunnya ayat ke 20 maka hukumnya menjadi sunnah
[4] Al-Baihaqi, Sunan al-Kubrâ, X/152/13434. Jalaluddin As-Suyuthi, Jâmi’u al-Masânidi wa al-Marâsili, IV/176/10930. Al-Mutqi al-Hindi, Kanzu al-Ummâli, I/1421/19540
[5] Asy-Syafi’i, Al-Umm, I/74. Al-Muzani, Mukhtasharu al-Muzani, I/32. Al-Mawardi, Al-Châwî al-Kabir fî Fiqhi asy-Syâfi’î, II/363 
[6] Asy-Syafi’i, Al-Umm, I/74. Al-Muzani, Mukhtasharu al-Muzani, I/32. Al-Mawardi, Al-Châwî al-Kabir fî Fiqhi asy-Syâfi’î, II/363 
[7] Al-Khatib asy-Syarbini, Al-Iqnâ’ fî Challi Alfâdzi Abî Sujâ’, I/257. Al-Khatib asy-Syarbini, Mughnî al-Muchtâj ilâ Ma’rifati Ma’âni Alfâdzi al-Minhâj, I/301. Sulaiman al-Bujairami, Châsyiyatu al-Bujairami ‘Ala al-Khatîb, I/213. Al-Mawardi, Al-Châwî al-Kabir fî Fiqhi asy-Syâfi’î, II/376
[8] Al-Khatib asy-Syarbini, Al-Iqnâ’ fî Challi Alfâdzi Abî Sujâ’, I/257. Al-Khatib asy-Syarbini, Mughnî al-Muchtâj ilâ Ma’rifati Ma’âni Alfâdzi al-Minhâj, I/301. Sulaiman al-Bujairami, Châsyiyatu al-Bujairami ‘Ala al-Khatîb, I/213. Al-Mawardi, Al-Châwî al-Kabir fî Fiqhi asy-Syâfi’î, II/376
[9] Al-Khatib asy-Syarbini, Al-Iqnâ’ fî Challi Alfâdzi Abî Sujâ’, I/257. Al-Khatib asy-Syarbini, Mughnî al-Muchtâj ilâ Ma’rifati Ma’âni Alfâdzi al-Minhâj, I/301. Sulaiman al-Bujairami, Châsyiyatu al-Bujairami ‘Ala al-Khatîb, I/213. Al-Mawardi, Al-Châwî al-Kabir fî Fiqhi asy-Syâfi’î, II/376
Sumber : http://islam-adalah.blogspot.com
Leave a Comment
Blog yang belum resmi
Diberdayakan oleh Blogger.